Oleh: Nelly Martin-Anatias, Te Kunenga ki Pūrehuroa – Massey University, Sharyn Graham Davies, Monash University.
JAKARTA – Momen di bulan Ramadan, terutama saat buka bersama, dan kumpul keluarga saat lebaran seharusnya menjadi momen yang bisa digunakan untuk mengenang kembali memori baik di masa lalu atau bersilaturahmi untuk bisa mengenal keluarga yang jarang ditemui.
Dengan menjalin silaturahmi, kita bisa pula mempererat koneksi.
Sayangnya, di Indonesia, kini makin umum fenomena di mana perantau, termasuk diaspora, enggan pulang kampung ketika lebaran.
Baca Juga:
Food Vlogger Codeblu Klarifikasi Saat Diperiksa Polisi Soal Dugaan Pemerasan Bermodus Ulasan Makanan
Kim Soo Hyun Beri Tanggapan Terkait dengan Rumors Dirinya Berkencan dengan Mendiang Kim Sae Ron
Alasannya beragam, mulai dari biaya transportasi yang mahal hingga tidak mau bertemu keluarga besar.
Riset kami di Selandia Baru, sejak tahun 2019, menunjukkan bahwa faktor terbesar penyebab mereka tidak mau berkumpul bersama keluarga adalah menjamurnya pertanyaan basa-basi.
Ini mencakup pertanyaan seperti “kapan punya anak?”, “kapan menikah?”, dan “kapan lulus kuliah?” yang berujung pada diskriminasi struktural dan bentuk pengucilan di Indonesia.
Basa-basi memang sudah menjadi bagian budaya Indonesia, karena memang tujuannya bukan sesuatu yang buruk dan dimaksudkan untuk bertanya hal-hal ringan.
Baca Juga:
Women’s Day Challenge, Hops Entertainment Tantang Perempuan Indonesia untuk Unjuk Kreativitas
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa, Semoga Allah Melimpahkan Rahmat-Nya kepada Keluarga Kita
Namun, peserta penelitian kami mengungkapkan bahwa pertanyaan basa-basi yang mungkin datang dari maksud baik, sering kali membuat mereka merasa terkucil daripada merasa dirangkul dan merayakan kebersamaan.
Basa-basi yang menyakiti
Peserta penelitian kami berjumlah 23 orang yang berasal dari Asia Tenggara dan Asia Selatan, termasuk dari Indonesia. Mayoritas negara asal mereka adalah negara heteronormatif, di mana menikah dan punya anak adalah sebuah konsensus sosial. Ini termasuk Indonesia.
Ada faktor kenormalan yang diasumsikan bahwa semua orang dianggap memiliki nilai-nilai hidup dan pengalaman yang sama, yaitu, setelah mencapai usia tertentu, diharapkan secara sosial sudah menikah, lalu mempunyai anak.
Kolektivisme yang dianut oleh kebanyakan orang Asia, termasuk Asia Tenggara, dapat menjadi tolak ukur di sini. Kebebasan atau pilihan individu seakan tidak terlihat.
Baca Juga:
Brand Kecantikan Korsel Jung Saem Mool Beauty Hadir di Indonesia, Gandeng Social Bella dan Skincara
Sejumlah Musisi Temui Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, Termasuk Agnes Mo dan Bunga Citra Lestari
Beberapa peserta penelitian kami yang merupakan diaspora mengakui bahwa mereka enggan untuk pulang kampung, termasuk untuk liburan, atau bertemu dengan keluarga besar mereka.
Mereka mengatakan bahwa liburan ke kampung halaman yang sudah mereka rencanakan dengan baik, seringkali menjadi pengalaman yang tidak mengenakan.
Salah satunya alasannya karena mereka sering mendapatkan pertanyaan, “sudah/kapan punya anak?” atau “putranya sudah berapa?”.
Salah satu informan kami, Sari (usia akhir 30 tahunan) dan suaminya, contohnya, mengaku trauma. Mereka telah menikah beberapa tahun tapi belum memiliki anak meski sudah melakukan banyak cara, termasuk medis, untuk mendapatkan keturunan.
Pertanyaan tersebut memang tidak memiliki maksud buruk, hanya basa-basi, tetapi akhirnya membangkitkan kesedihan dalam dirinya.
Dengan pertanyaan ini, Sari seperti diingatkan kembali segala pengorbanan dan kesakitan, baik fisik maupun psikologis- yang ia alami saat proses IVF (bayi tabung) demi mendapatkan buah hati.
Belum lagi, ada pula pertanyaan atau komentar lain yang dimaksud sebagai candaan, namun dapat membuat orang lain tersinggung, karena bersifat pribadi dan instrusif seperti dengan mempertanyakan sebab musabab mengapa mereka susah diberikan keturunan atau mempertanyakan kejantanan suami/pasangan.
Acara reuni dan kumpul keluarga yang awalnya diharapkan sebagai ajang untuk bertemu kangen dan bertukar cerita seringkali meninggalkan dampak psikologis lebih dalam bagi sebagian orang.
Mencoba kebih berempati
Mengingat perayaan Idul Fitri dan acara buka bersama menjadi ajang untuk berkumpul dan bersilaturahmi, sebaiknya kita sebagai individu bisa mengedepankan empati sebelum mengajukan pertanyaan.
Sebelum bertanya, kita hendaknya menilai dari sisi orang yang kita tanyai. Sehingga, kita bisa lebih sensitif dan memikirkan apakah pertanyaan tersebut berpotensi membuka tabir kepedihan, pengalaman tidak menyenangkan, ketidaknyamanan atau kesakitan yang mereka pernah alami.
Alih-alih menanyakan hal-hal yang mungkin buat kita adalah “hal ringan”, berhentilah sebentar dan berpikir, “jika saya menanyakan hal ini, apakah akan membuat orang lain tidak nyaman?”,
“apakah pertanyaan ini penting untuk ditanyakan?” atau, “jika saya berada di posisi dia, dan menerima pertanyaan ini, bagaimana perasaan saya, apakah saya akan merasa sedih, terluka, tersisih dan terkucilkan?”
Kita bisa mengganti pertanyaan basa-basi nirempati dengan yang lebih terbuka dan memang bermaksud untuk mengenal orang lain lebih baik dan tulus, bukan untuk sekedar memuaskan rasa keingintahuan kita (kepo).
Misalnya, “sudah lama tidak bertemu ya, bagaimana keadaanmu akhir-akhir ini?”, “sudah lama kita tidak berjumpa, apa hal-hal baru darimu yang ingin dibagikan atau ceritakan?” atau, “ada hal baru apa yang berbeda sejak pertemuan kita beberapa waktu lalu?” atau pertanyaan lainnya yang bersifat serupa.
Karena bersifat terbuka, pertanyaan tersebut bisa memberikan ruang untuk orang lain bercerita.
Kita tidak perlu mendikte topiknya, apalagi jika pertanyaan itu sifatnya justru ingin “menakar” keadaan sosial dan ekonomi orang lain.
Lebih baik kita mencoba membuka ruang bagi orang di hadapan kita untuk menentukan apa yang mereka ingin bagikan (atau tidak ceritakan) kepada kita.
Yang kita perlu ingat adalah tujuan dari silaturahmi dan reuni adalah seyogyanya untuk menyambung (kembali) hubungan yang baik dan tulus, bukan hanya sekedar kepo atas pencapaian atau hal-hal yang orang lain miliki atau tidak miliki.
Di bulan Ramadan yang baik ini baiknya kita lebih berefleksi dan mulai mengedukasi diri kita dengan nilai-nilai empati terhadap pandangan hidup dan keadaan orang lain yang mungkin berbeda dari kita.
Upayakan untuk lebih mawas diri, bijaksana dan tidak menghakimi saat berhadapan dengan orang lain, dan hindari pertanyaan yang bisa menyudutkan keluarga dan kerabat kita, yang dampaknya malah berkebalikan dari tujuan silaturahmi dan reuni itu sendiri.***
Artikel ini direpublikasi dari artikel The Conversation yang berjudul
“Jangan tanya kapan menikah dan punya anak–hindari pertanyaan tak berempati saat kumpul keluarga“.*
Sempatkan untuk membaca berbagai berita dan informasi seputar ekonomi dan bisnis lainnya di media Bisnispost.com dan Ekbisindonesia.com
Simak juga berita dan informasi terkini mengenai politik, hukum, dan nasional melalui media Apakabartv.com dan Pusatsiaranpers.com
Informasi nasional dari pers daerah dapat dimonitor langsumg dari portal berita Sulawesiraya.com dan Harianjayakarta.com
Sedangkan untuk publikasi press release serentak di puluhan media lainnya, klik Persrilis.com atau Rilispers.com (150an media).
Untuk harga paket yang lebih hemat klik Rilisbisnis.com (khusus media ekbis) dan Jasasiaranpers.com (media nasional).
Untuk informasi, hubungi WhatsApp Center Pusat Siaran Pers Indonesia (PSPI): 085315557788, 08557777888, 087815557788, 08111157788.
Pastikan juga download aplikasi Hallo.id di Playstore (Android) dan Appstore (iphone), untuk mendapatkan aneka artikel yang menarik. Media Hallo.id dapat diakses melalui Google News. Terima kasih.
Sumber Berita : Theconversation.com